Gharar dan
Jahalah dan Pengaruhnya
Terhadap Akad Bisnis
Dosen Pengampu: Drs. Asmuni, M.A
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas
Mata
kuliah Fiqh Muamalah
Oleh:
Sappeami
NIM: 5913033
PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI EKONOMI ISLAM
MAGISTER STUDI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jual beli yang penuh
berkah adalah jual beli yang di dalamnya memperhatikan aturan Islam. Inilah
jual beli yang akan mendatangkan barokah dan kemudahan rizki dari Allah SWT.
Sebaliknya jual beli yang terlarang hanya akan mendatangkan bencana demi
bencana. Setelah kita mengetahui beberapa barang yang haram diperdagangkan dan
beberapa aturan dalam jual beli, selanjutnya kita patut mengenal bentuk
transaksi jual beli yang Islam larang. Diantara jual beli yang diharamkan dalam
Islam adalah gharar dan Jahalah. Hal ini sebagaimana yang
terdapat dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah Saw melarang jual beli
al-hashah dan jual beli gharar”.
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar dan
jahalah sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber
dari ketidak jelasan dan ketidakpastian serta adanya unsur taruhan di dalamnya.
Imam Nawawi mengatakan : “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting
dari kitab jual-beli. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat
banyak, dan tidak terhitung”.
Ketidak pastian adalah realitas
dalam kehidupan manusia, namun semua umat manusia dihadapkan dengan ketidak
pastian dalam kehidupan sosial dan bisnis, resiko selalu meliputi kita apapun
yang kita lakukan. Islam tidak mengabaikan realitas ini dan tidak melarang
manusia menghadapi resiko dan ketidak pastian dalam hidup.[1] Praktik
gharar dan jahalah adalah hal yang dilarang, namun bukan larangan untuk
menghadapi resiko. Islam tidak mengajarkan seseorang untuk menghindari suatu
resiko. Bahkan, berurusan dengan resiko dalam perdagangan diakui akan didukung
oleh Islam, karena resiko yang ditanggung bersama secara adil.[2]
Dengan kata lain gharar mengacu pada transaksi yang belum jelas, yaitu
transaksi yang dikondisikan pada situasi dan kondisi yang belum pasti.
Prinsip gharar yang telah
dikeluarkan adalah berdasarkan kepada sebab-sebab sesuatu jual beli itu
dilarang yang diambil dari pada pendapat-pendapat ulama setelah dibuat
kesimpulan dari pada hadis-hadis gharar. Prinsip-prinsip yang
dikeluarkan ini adalah untuk memastikan supaya setiap urusan niaga atau jual
beli yang berlaku tidak terlibat dalam gharar yang telah dilarang Islam
melalui hadis-hadis Nabi saw. yang shahih.[3]
Gharar dan jahalah merupakan dua istilah
yang dilarang dalam Islam, sehingga sangat penting diketahui oleh para pelaku
bisnis, maka perlu dilakukan pengkajian yang mendalam tentang hal tersebut, sehingga
kita dapat membedakan antara keduanya agar orang muslim dalam berbisnis mampu
memahami etika, nilai dan moral sesuai Islam, dan bisnis yang dijalankan
benar-benar dilandasi ajaran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian gharar dan jahalah?
2. Apakah perbedaan antara gharar dan jahalah?
3. Apakah landasan hukum gharar dan jahalah?
4. Apasajakah contoh gharar yang dilarang dan gharar yang
dibolehkan?
5. Bagaimanakah pengaruh gharar dan jahalah terhadap
akad-akad bisnis?
BAB II
PEMBAHASAN
GHARAR DAN JAHALAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP
AKAD-AKAD BISNIS
A.
Pengertian Gharar dan Jahalah
1.
Gharar
Gharar menurut bahasa adalah
keraguan, ti puan, atau tindakan yang
bertujuan untuk merugikan pihak lain. suatu akad yang mengandung unsur penipuan
karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad,
besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan penyerahan objek yang disebutkan dalam
akad tersebut.[4]
Pengertian gharar menurut bahasa Arab, makna al-gharar, al-khathr
(pertaruhan). Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, al-gharar
adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-aqibah). Sedangkan menurut
Syaikh As-Sa’ad al-gharar adalah al-Mukhatharah (pertaruhan) dan al-Jahalah
(ketidakjelasan), perihal ini masuk dalam perjuduan[5]
Para ahli fikih mengemukakan
beberapa definisi gharar yang bervariasi dan dan saling melengkapi.
1.
Menurut
iman al-Qarafi dan ibnu Taimiyah, gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui
dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual
beli terhadap burung yang masih di udara atau ikan yang masih didalam air.
2.
Ibnu
Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa gharar adalah suatu objek akad yang tidak
mampu diserahkan, baik oleh objek itu ada ataupun tidak. Misalnya menjual hamba
sahaya yang melarikan diri atau unta yang lepas
3.
Menurut
ibnu hazm, gharar adalah ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang
apa yang menjadi objek akad tersebut.[6]
4.
Menurut
Mustafa Zarqa, gharar adalah jual beli yang tidak jelas batasannya dan objeknya
karena risiko sehingga mirip judi.[7]
2.
Jahalah
Jahalah adalah ketidaktahuan[8]. Jahalah berarti suatu unsur yang tidak jelas
atau tidak diketahui pada kualitas, kuantitas,atau harga suatu barang, sehingga
mengakibatkan timbulnya suatu ketidakpastian. Jual beli dinyatakan tidak sah
apabila jumlah barang hanya dapat dihitung dengan perkiraan menganggap
jumlahnya sama dengan yang masih ada dipohon. Berkaitan dengan ini, rahman
membagi praktik jahalah kedalam dua ciri umum yaitu: jual beli dengan kira-kira
dan ketidakjelasan.
Jahalah
merupakan suatu elemen yang dilarang di dalam muamalat Islam,
wujud jahalah di dalam sesuatu transaksi menjadikannya haram. Contoh nya
seperti Memesan barang tanpa menetapkan sifatnya, menempah barang tanpa
ditentukan harganya, membeli barang yang tidak berwujud pada waktu akad.[9]
B.
Perbedaan Gharar dan Jahalah
Sementara itu, Imam al-Qarafy
membedakan antara Gharar dengan Jahalah. Gharar menurutnya
adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas apakah efek akad terlaksana
atau tidak, seperti melakukan transaksi jual-beli terhadap burung yang masih
ada di udara atau ikan yang masih berada di air. Sedangkan majhul adalah
suatu akad yang diketahui dengan tegas efek dari terlaksananya akad, tetapi
tidak diketahui sifatnya, seperti seorang yang ingin menjual budak yang masih
berada di dalam rumah.[10]
Dapat ditari kesimpulan, jika unsur
ketidaktahuan ini kembali pada apakah efek akad tersebut terlaksana atau tidak,
maka berarti ini adalah gharar. Namun jika unsur ketidaktahuan ini
terjadi akibat ketidaktahuan sifat dari objek jual-beli maka disebut jahalah.[11]
Jahalah menurut al-Qarafi terbagi
menjadi tiga, yaitu: pertama, adanya gharar tanpa jahalah,
seperti ketika seseorang menjual sesuatu (yang belum jelas objeknya) dalam
lengan baju. Kedua, adanya unsur jahalah tanpa gharar, seperti
jual-beli batu mulai yang sudah bisa dilihat oleh pembeli, namun pembeli tidak
tau, apakah batu mulia itu zamrud, safir, atau rubi. Dalam hal ini tidak ada
unsur gharar karena pembeli dapat melihat langsungbarang yang diperjualbelikan,
hanya saja pembeli tidak bisa membedakan bentuk batu mulia. Ketiga, kedua unsur
gharar dan jahalah terdapat dalam satu akad transaksi jual beli, seperti
ketika transaksi jual-beli mobil yang sedang dicuri.[12]
Berikut adalah skema yang
menggambarkan pembagian gharar dan jahalah serta contohnya menurut al-Qarafi
Gharar dan Jahalah
|
Gharar
tanpa Jahalah
Contoh : ketika seseorang menjual sesuatu (yang belum jelas objeknya) dalam lengan baju. |
Jahalah
tanpa Gharar
Jual beli batu mulia yang sudah
bisa dilihat oleh pembeli, namun pembeli tidak tau, apakah batu mulia itu
zamrud, safir atau rubi
|
Unsur
gharar dan jahalah
|
Contohnya:
transaksi jual-beli mobil yang sedang dicuri.
|
C.
Landasan Hukum Pelarangan Gharar
Gharar hukumnya dilarang dalam
syariat Islam, oleh karena itu melakukan transaksi atau memberikan syarat dalam
akad yang ada unsur ghararnya itu tidak boleh. Didalam al-Qur’an tidak ada nash
secara khusus yang mengatakan tentang hukum gharar akan tetapi secara khusus
dapat dimasukkan dalam surah al-Baqarah ayat 188:
Artinya
:
“Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan yang batil.” (Q.S. Al-Baqarah
: 188)[13]
Kemudian dalam surah an-Nisa ayat:
29
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka
diantara kamu. (Q.S. An-Nisa : 29)[14]
Mengenai dilarangnya jual beli
gharar juga didapati didalam hadis yang berhubungan dengan hal tersebut yang
diriwayatkan oleh beberapa sahabat antara lain sebagai berikut:
وَحَدَثَنَا
أَبُو بَكَر بنُ أَبِي شَيْبَةُ حَدَثَنَا عَبْدُ اللهِ بنُ إِدْرِيْسُ وَ يَحْيَ بنُ سَعِيد وَ أَبُو أُسَامَة عَنْ عَبْدُ اللهِ وَحَدَّثَنِي
زُهَيْرِ بْنُ حَرْبِ (وَ اللفْظُ لَهُ) حَدَثَنَا يَحْيَ بنُ سَعِيْد عَن عَبدُالله
حَدَّثَنِي أَبُو الزِنَاد عَنْ الأَعْرَاج, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةُ قَالَ:
نَهَي رَسُولُ الله صَلي اللهُ عليهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ, وَعَن بَيْعِ
الغَرَرِ.[15]
Artinya:
Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada
kami. Abdullah bin Idris dan Yahya bin Sa’id dan Abu Usamah dari Abdullah telah
menceritakan kepada kami. Zuhair bin Harbin (lafadh yang dimaksud) telah
menceritakan kepada saya. Yahya bin Sa’id dari Abdullah telah menceritakan
kepada kami. Abu Zinad dari A’roji, dari bapak saya Hurairah telah menceritakan
kepada saya. Ia berkata: Rasulullah saw. melarang melakukan jual beli kerikil
(dengan cara lemparan batu kecil) dan melarang melakukan jual beli yang
sifatnya tidak jelas (gharar).
Dengan demikian maka jelaslah keharaman jual beli
gharar dalam Islam.
Menurut
iman Nawawi jual beli gharar adalah terlarang, namun terdapat dua
pengecualian di dalamnya. Pertama, sesuatu yang tidak disebutkan dalam akad
jual beli tetapi termasuk kedalam objek akad. Misalnya jual beli sapi perah,
atau jual beli rumah beserta fondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat
sebenarnya tidak diketahui. Kedua, segala sesuatu yang menurut kebiasaan umum
suatu daerah dapat ditolerir atau di maafkan dalam akad jual bel, baik karena
sedikit jumlahnya maupun karena sulit memisahkan dan menentukan, seperti upah
masuk kamar mandi, sedangkan penggunaan air dan waktu setiap orang yang masuk
kamar mandi berbeda-beda.[16]
Menurut para ulama, gharar itu
berbeda-beda jenis dan tingkatannya, ada gharar berat dan ada gharar
ringan.
1. Gharar berat
Abu
al-Walid al Baji menjelaskan batasan (dhabit) gharar berat tersebut,
yaitu: “Gharar berat itu adalah yang sering terjadi pada akad hingga
menjadi sifat akad tersebut.” Atau singkatnya, gharar berat adalah gharar
yang bisa dihindarkan dan menimbulkan perselisihan antara para pelaku akad.[17]
Gharar
jenis ini berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan tempat. Oleh karena itu,
standar gharar ini dikembalikan kepada ‘urf . Diantara contoh
gharar berat adalah menujal buah-buahan yang belum tumbuh, menyewakan suatu
manfaat barang tanpa batas waktu, memesan barang (akad salam) untuk
barang yang tidak pasti ada pada waktu penyerahan.
2. Gharar ringan
Yang dimaksud dengan gharar ringan adalah
gharar yang tidak bisa dihindarkan dalam setiap akad dan dimaklumi menurut ‘urf
tujjar (tradisi bisnis) sehingga pelaku akad tidak dirugikan dengan gharar
tersebut. Seperti membeli rumah tanpa melihat fondasinya, menyewakan rumah
dalam beberapa bulan yang berbeda-beda jumlah harinya, menjual buah-buahan yang
ada dalam tanah, menjual sesuatu yang hanya bisa diketahui jika dipecahkan atau
dirobek.[18]
Dalam contoh beberapa transaksi di atas terdapat
ketidakjelasan, membeli rumah tetapi fondasi rumah tidak bisa dilihat, jumlah
dari dalam bulan bulan juga tidak pasti, dan seterusnya. Gharar ringan ini
dibolehkan menurut Islam sebagai rukhsah (keringanan) dan dispensasi
khususnya bagi pelaku bisnis. Karena gharar itu tidak bisa dihindarkan
dan sebaliknya sulit sekali melakukan bisnis tanpa gharar ringan
tersebut.
Dari sisi lain
gharar juga ada yang kadarnya sedikit, sedang dan berat. Oleh karena itu
sebagian ulama mendefinisikan gharar yaitu sesuatu yang diyakini adanya,
tetapi diragukan kesempurnaannya (Mukhtar Shihah).[19]
D.
Gharar yang dilarang dan gharar yang diperbolehkan
1.
Gharar
yag dilarang
Menurut ulama fikih, bentuk-bentuk gharar
yang dilarang adalah sebagai berikut:[20]
1.
Tidak
adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadi akad,
baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada (bai’ al-ma’dum).
Misalnya, menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa menjual
induknya, menjual ikan yang masih dalam laut atau burung yang masih di udara.
2.
Menjual
sesuatu yang belum berada dibawah penguasa penj ual. Bila suatu barang yang
sudah dibeli dari orang lain belum diserahterimakan kepada pembeli, maka
pembeli ini tidak boleh menjualnya kepada pembeli lain.
3.
Tidak
adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih dari Universitas
Damascus, Suriah) berpendapat bahwa ketidakpastian (al-jahl) tersebut
merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar (gharar kabir)
larangannya.
4.
Tidak
adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Misalnya,
penjual berkata: “saya jual kepada anda baju yang ada dirumah saya”, tanpa
menentukan ciri-ciri baju tersebut secara tegas. Termasuk dalam bentuk ini
ialah menjual buah-buahan yang masih dipohon dan belum layak.
5.
Tidak
adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Misalnya penjual
berkata: “saya jual beras kepada andasesuai dengan harga yang berlaku pada hari
ini.” Ketidakpastian yang terdapat dalam jual beli ini merupakan illah dari
larangan melakukan jual beli terhadap buah-buahan yang belum layak konsumsi.
6.
Tidak
adanya kepastian tentang waktu penyerahan objek akad, misalnya setalah wafatnta
seseorang.
7.
Tidak
adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macamatau lebih transaksi
yang berbeda dalam satu objek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang
dipilih sewaktu terjadinya akad. Misalnya, sebuah arloji dijual dengan harga 50
ribu rupiah jika dibayar tunai dan 75 ribu rupuah jika kredit, namun ketika
akad berlangsung tidak ditegaskan bentuk transaksi yang dipilih.
8.
Tidak
adanya kepastian objek akad, yaitu adanya dua objek akad yang berbeda dalam
satu transaksi. Misalnya, salah satu dari dua potomg pakaian yang berbeda mutunya
dijual dengan harga yang sama. Salah satu pakaian tersebut harus dibeli tanpa
ditentukan lebih dahulu pakaian mana yang menjadi objek akad.
9.
Kondisi
objek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam
transaksi. Misalnya, menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit. Jual beli
ini termasuk gharar karena di dalamnya terkandung unsur spekulasi bagi penjual dan
pembeli, sehingga disamakan dengan jual beli dengan cara undian.
10.
Adanya
keterpaksaan, antara lain berbentuk:
a)
Jual
beli lempar batu (bai’ al-hasa), yaitu seseorang melemparkan batu pada
sejumlah barang dan barang yang dikenai batu tersebut wajib dibelinya.
b)
Jual
beli saling melempar (bai’ al-munabazah), yaitu seseorang yang melempar
bajunya kepada orang lain dan jika orang yang dilempar itujuga melemparkan baju
kepadanya maka antara keduanya wajib terjadijual beli, meskipun pembeli tidak
tahu kualitas barang yang akan dibelinya itu
c)
Jual
beli dengan cara menyentuh (bai’ al-mulamasah), yaitu jika seseorang
menyentuh suatu barang maka barang itu wajib dibelinya, meskipun ia belum
mengetahui dengan jelasbarang apa yang akan dibelinya itu.
2.
Gharar
yang diperbolehkan
Jual beli gharar yang diperbolehkan ada dua macam:[21]
a.
Jika
barang tersebut sebagai pelengkap
b.
Jika
ghararnya sedikit
c.
Masyarakat
memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu yang remeh
d.
Mereka
memang membutuhkan transaksi tersebut
Imam Nawawi menjelaskan hal tersebut di
dalam Syarh Shahih Muslim (5/144):
“Kadang sebagian gharar diperbolehkan
dalam transaksi jual beli, karena hal itu memang dibutuhkan (masyarakat),
seperti seseorang tidak mengetahui tentang kwalitas pondasi rumah (yang
dibelinya), begitu juga tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang
hamil. Hal – hal seperti ini dibolehkan di dalam jual beli, karena
pondasi (yang tidak tampak) diikutkan (hitungannya) pada kondisi bangunan rumah
yang tampak, dan memang harus begitu, karena pondasi tersebut memang tidak bisa
dilihat. Begitu juga yang terdapat dalam kandungan kambing dan susunya.“ (lihat
juga Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari, Kitab: al-Buyu’, Bab: Bai’
al-Gharar)
Beberapa contoh gharar lain yang
diperbolehkan :
1. Menyewakan rumahnya selama sebulan. Ini dibolehkan
walaupun satu bulan kadang 28, 29, 30 bahkan 31 hari.
2. Membeli hewan yang sedang mengandung dengan adanya
kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina, kalau
lahir sempurna atau cacat.
3. Masuk toilet dengan membayar Rp. 2000,- padahal tidak
diketahui jumlah air yang digunakan
4. Naik kendaran angkutan umum atau busway dengan
membayar sejumlah uang yang sama, padahal masing-masing penumpang tujuannya
berbeda-beda.
Gharar dalam aktiviti muamalat membawakan ciri-ciri
berikut (Mohamed Fairooz, 2011).
1. Gharar adalah unsur yang tidak diketahui sama ada
wujud atau tidak
2. Gharar merupakan sesuatu yang tidak jelas dari sudut
keberhasilan daripada tujuan sesuatu akad jual beli dijalankan
3. Gharar berlaku atas jahalah yang merujuk kepada
kesamaan yang tanpa boleh dipastikan sama ada oleh pihak penjual atau pembeli
4. Gharar mampu mempengaruhi harga jualan komoditi lalu
mengakibatkan berlakunya penindasan keatas pembeli[22]
E.
Pengaruh Gharar terhadap akad-akad bisnis
Dalam standar syariah AAOIFI Barhain
no. 31, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-Muassasat al-Maliyah
al-Islamiyah, Bahrain, 2010, ditiliskan oleh Adiwarman A. Karim dan Oni
Sahroni, pengaruh gharar terhadap akad mu’awadhah (transaksi
bisnis), bisa terjadi baik dalam sighat maupun akad atau dalam objek
akad atau dalam syarat akad. [23]
1. Gharar dalam shigat akad
Diantara
contoh gharar dalam sighat akad adalah:
a)
Al-
Jam’u baina bai’ataini fi bai’ah (menggabungkan
dua transaksi dalam satu transaksi), sepertimenjual barang dengan harga seribu
secara tunai atau dengan harga dua ribu secara tidak tunai, tanpa ditentukan
salah satu dari dua pilihan tersebut.
b)
Akad
jual beli atas objek yang tidak pasti, seperti bai’ al-hashah yakni
menjual sesuatu dengan cara melempar kerikil ke objek yang akan dibeli, setiap
objek yang terkena lemparan, maka itu yang akan dibeli.
2.
Gharar
dalam objek akad
Pertama, gharar yang terjadi pada objek akad (mutsman). Objek
akad yang dimaksud adalah barang yang dijual dalam akad bai’ atau barang
(layanan) yang disewakan dalam akad ijarah atau objek usaha dala akad
mudharabah.
Gharar dalam akad yang menjadi objek transaksi meliputi hal-hal
berikut:
a)
Bentuk
dan jenis objek akadnya tidak diketahui dengan jelas (majhul), seperti
menjual barang, tetapi tidak dijelaskan jenisnya atau menjual mobil tanpa
diketahui modelnya.
b)
Objek
akadnya tidak ditentukan (‘adamu ta’yini sil’ah), seperti menjual mobil
di show room tanpa ditentukan barangnya atau menjual sebidang tanah tanpa
ditentukan tempat dan letaknya.
c)
Sifat
objek akad tidak diketahui (majhul) dalam barang yang memiliki sifat
yang berbeda-beda, seperti menjual barang yang tidak ada ditempat tanpa
dijelaskan sifat-sifatnya.
d)
Jumlah
barang yang menjadi objek akadnya (miqdar al-mabi’) itu tidak diketahui
(majhul), seperti bai’ al-jazaf. bai’ al-jazaf adalah jual
beli barang yang ditaksir jumlahnya tanpa diketahui secara pasti jumlahnya. bai’
al-jazaf itu hukumnya tidak sah kecuali jika memenuhi syarat-syart berikut:
1)
Barang
yang dijual terlihat waktu akad disepakati
2)
Barang
tersimpan (mahruz)
3)
Yang
disepakati untuk dijual adalah jumlah keseluruhan bukan satu per satu.
Transaksi dengan objek akad yang tidak diketahui jenis, sifat dan
jumlahnya tersebut itu akadnya tidak sah (fasid) sesuai ijma’ ulama yang
menegaskan bahwa setiap transaksi yang tidak diketahui objek akadnya, maka akad
itu tidak sah karena dalam transaksi ini ada ketidak jelasan yang bisa
menyebabkan perselisihan (jahalah fahisyah). Begitu pula tujuan penjual
atau pembeli untuk mendapatkan keuntungan atau barang itu tidak tercapai.
Kedua, gharar yang terjadi pada
harga (tsaman) atau upah (ujrah). Diantara bentuk penerapannya
adalah:
a)
Menjual
barang tanpa disebutkan harganya atau diserahkan kepada salah satu pihak akad
atau orang asing untuk menentukannya
b)
Membeli
sesuatu dengan uang yang ada disakunya.
c)
Membeli
sesuatu dengan mata uang tertentu yang tidakdisebutkan
Menjual barang dengan upah yang
tidak diketahui akadnya tidak sah, kecuali menjual barang dengan harga yang
tidak ditentukan, tetapi tingkat ghararnya mughtafar (ditolerir) seperti
akad-akad berikut:
1)
Menjual
barang dengan harga pasar (harga waktu membeli) atau dengan harga pada waktu
tersebut
2)
Menjual
barang dengan harga yang biasa digunakan masyarakat
3)
Bai’
al-istijrar yaitu membeli barang secara rutin dari para penjual dengan sistem mu’tha
(jual beli tanpa ijab qabul) dan harganya ditentukan setelah dikonsumsi dengan
mengikuti harga urf’ masyarakat atau dengan harga indeks
4)
Menjual
barang dengan harga paket dan tidak mengetahui rincian barangnya dan harga
keseluruhannya.
5)
Menyewakan
taksi dengan argo dimana upah tidak bisa diketahui kecualai sampai pada tujuan
6)
Menyewakan
dengan upah sejenis, contohnya, mengikuti harga upah yang berubah-ubah sesuai
dengan harga indeks
Ketiga, waktu akadnya tidak diketahui (majhul). Jika akad
disepakati tanpa menentukan waktu penyerahan barangnya maka akadnya tidak sah,
karena ketidak pastian waktu penyerahan objek akad itu termasuk gharar.
Tetapi jika waktu tidak ditentukan tersebut sudah maklum dan bisa
dipahami pelaku akad, maka akadnya sah karena gharar yang mughtafar
(ditolerir), seperti menjual barang dan penyerahannya ditunda hingga
musim-musim tertentu, seperti musim panen dan lain-lain.
Keempat, objek akadnya tidak ada dan belum dimiliki atau objek
akadnya ada tetapi tidak bisa diserahterimakan atau objek akadnya tidak bisa di
taqabudh (serah terima).
Objek akadnya tidak ada dan belum dimiliki, maksudnya menjual
sesuatu yang tidak dimilikinya pada waktu akad, tetapi penjual kemudian
membelinya dari pasar untuk dijual kepada pembeli tersebut. Jual beli objek
akad ini tidak sah kecuali dalam bentuk salam atau istishna’.
Objek akadnya ada tetapi tidak bisa diserahterimakan, seperti
menjual ikan dalam kolam air dan tidak bisa diambil pada waktunya.
Objek akad yang tidak bisa di taqabudh, maksudnya tidak
boleh menjual sesuatu yang belum diterima dan belum dimiliki atau dalam istilah
fikih belum terjadi taqabudh.
Kelima, objek akadnya tidak bisa dilihat (Bai’ al-‘ain
al-gha’ibah).
Tidak boleh menjual barang yang tidak ada tanpa ditentukan sifatnya
dan ciri-cirinya karena Bai’ al-‘ain al-gha’ibah itu mengandung unsur
gharar yakni barang yang tidak bisa dilihat itu membuat akad tidak sempurna.
Maka jika barngnya tidak ada pada saat akad, tetapi bisa ditentukan
spesifiknya oleh penjual atau pihak lain, atau barang yang tidak ada tetapi
sudah dilihat sebelumnya sebelum akad dengan syarat barangnya tidak berubah
atau menjual barang dengan contoh itu maksudnya model sebagai contoh barang objek
beli, maka akadnya sah.
F.
Pengaruh Gharar dalam Akad Tautsiqat (Akad Pengikat)
1.
Pengaruh
gharar dalam akad rahn dan kafalah
Dalam akad rahn dan kafalah boleh saja terjadi unsur
gharar. Contoh akad rahn, memberikan motor yang hilang atau tanaman yang
belum berbuah sebagai jaminan. Akan tetapi telah diketahui bahwa kedua contoh
diatas tidak boleh dilakukan kecuali setelah mobil tersebut ada dan pohon itu
berbuah.
Contoh pada akad kafalah seperti menjamin sesuatu yang akan
terjadi pada masa yang akan datang, kafalah dengan mensyaratkan sesuai yang
tidak bertentangan dengan muqtadha akd (tujun akad) atau menundanya
hingga waktu yang tidak ditentukan.[24]
Hal ini berdasarkan bahwa akad rahn itu bukan akad inti,
tetapi hanya akad pelengkap yang berfungsi sebagai tautsiq (pengikat/bukti)
dan selain itu akad kafalah dan rahn itu adalah akad tabarru.
2.
Pengaruh
akad dalam akad wakalah
Unsur gharar
dibolehkan dalam akad wakalah jika ada indikator (qarinah) atau ‘ufr
yang menentukan muwakkalah bih (objek wakalah), seperti ta’liq
(menggantungkan) wakalah dengan syarat (akad wakalah yang mu’allaq).
Dengan syarat wakalah yang disepakati bukan wakalah bil ajr kareana akad
tersebut termasuk akaad ijarah.[25]
A.
Kesimpulan
jika unsur ketidaktahuan ini kembali
pada apakah efek akad tersebut terlaksana atau tidak, maka berarti ini adalah gharar.
Namun jika unsur ketidaktahuan ini terjadi akibat ketidaktahuan sifat dari
objek jual-beli maka disebut jahalah.
Menurut para ulama, gharar itu
berbeda-beda jenis dan tingkatannya, ada gharar berat dan ada gharar
ringan. pengaruh gharar terhadap akad mu’awadhah (transaksi
bisnis), bisa terjadi baik dalam sighat maupun akad atau dalam objek
akad atau dalam syarat akad.
DAFTAR PUSTAKA
Abi, Imam Husain Muslim Bin Hajaj al-Qusyairi
an-Nasaburi, 2.06-261 M, Shahih Muslim, Juz III Riyadh: Dar al-Alimul Kutub
Al-Shiddiq
Muhammad al-Amin Al- Dhoir., 1990,
al-Gharar wa atsaruhu fi Al-Uqud fi Al-fikh Al-Islamy, Sudan:1990
Al-Zuhli
Wahab., 2012, Maushu’ah Al-Fikh
Al-Islamy wa Al-Qadhaya Al-Mua’shirah, cet. III, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
2012 Wahab Al-Zuhli, Maushu’ah Al-Fikh Al-Islamy wa Al-Qadhaya
Al-Mua’shirah, cet. III, Damaskus: Dar Al-Fikr.
Arsyad,
Amaliah. 2016. “Gharar dan Jahalah dalam
perspektif Islam beserta Implikasinya dalam Keuangan Syariah”, Makalah yang
disampaikan dalam kelas Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indonesia.
Yogyakart.
Azeemi, Husain Abdullah Thaidi, dkk., “Analisis Eksistensi Gharar
Terhadap Pelaksanaan Pembiayaan Pribadi Tawarruq”, Jurnal, (Malaysia:
Fakulti Syariaah dan Undang-undang , Universitas Sains Islam Malaysia).
Badan
Kementrian Wakaf dan Lembaga Islam. 1994. Al-Maushu’ah Al-Fikhiyah,
Cet-1. Kwait:Dar Al-Shofwah.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an
dan terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema,2009.
Ensiklopedi
Hukum Islam. 2010. PT. Ichtiar Baru vab Hoeve: Jakarta.
Fuadi,
Fatih., “Ekonomi Islam: Jahalah (Dampaknya terhadap akad”, Makalah , Prodi Ekonomi Islam IAIN Raden Intan Lampung,
27 Januari 2015.
Hadi, Abdul bin Awang., “Gaharar dalam Perspektif Fiqih al-Hadith:
Analisis Terhadap ‘Illah dan Prinsip”, Jurnal Ilmiah Berimpak, (Desember
2012).
Hanif
Ummu., “Inilah Gharar Dan Jahalah dalam Harga Perhidmatan” dikutip dari, http://darulharis.blogspot.co.id/2013/10/inilah-gharar-dan-jahalah-dalam-harga.html,
pada hari Rabu, 25 Oktober 2013.
Ifhm,
Ahmad Sholohin. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syriah, PT. Gramedia: Jakarta.
Iqbal , Muhaimin., Iqbal , Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik
Upaya Menghilangkan Gharar, Maisir, dan Riba, Gema Insani: Jakarta.
Karim
Adiwarman dan Oni Sahrono. 2015. Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi
Syariah. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Nazir,
Habib dan Afif Muhammad. 2004. Ensiklopedi
Ekonomi dan Perbankan Syariah. Kafa Publishing: Bandung.
Santoso Imam. “Gharar Fiqih Muamalah (Realita dan Solusi)”, dikutip
dari http://syariahonline.com/v2/component/content/article/31-general/3191-gharar-dalam-fiqih-muamalah-realita-dan-solusi.html pada
hari Rabu, 27 April 2016.
Syahatah,
Husain. Shiddiq Muhammad, dll. 2005. Transaksi
dan Etika Biasnis Islam. Visi Insani Publishing:Jakarta.
Warde,
Ibrahim. 2009. Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global,
Pustaka Belajar: Yogyakarta.
Zain Ahmad An-Najah. “Puskafi: Jual Beli Gharar”, dikutip dari http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/448/jual-beli-gharar/
pada tanggal 10 Muharram 1435 H/14 November 2013 M.
[1] Muhaimin
Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik Upaya Menghilangkan Gharar,
Maisir, dan Riba, (Gema Insani: Jakarta, 2005), hlm. 25.
[2] Ibrahim Warde,
Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global, (Pustaka
Belajar: Yogyakarta, 2009) hlm. 127
[3] Abdul Hadi bin
Awang, “Gaharar dalam Perspektif Fiqih al-Hadith: Analisis Terhadap ‘Illah dan Prinsip”,
Jurnal Ilmiah Berimpak, (Desember 2012).
[4]Ensiklopedi
Hukum Islam (PT. Ichtiar Baru vab Hoeve: Jakarta, 2001), hlm .399
[5] Husain
Syahatah, Shiddiq Muhammad, dll, Transaksi dan Etika Biasnis Islam,
(Visi Insani Publishing:Jakarta, 2005), hlm.144
[6] Habib Nazir
dan Afif Muhammad, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah, (Kafa
Publishing: Bandung,2004), hlm. 245.
[7] Ahmad Ifhm
Sholohin, Buku Pintar Ekonomi Syriah, (PT. Gramedia: Jakarta, 2010),
hlm. 288.
[9] Fatih Fuadi,
“Ekonomi Islam: Jahalah (Dampaknya terhadap akad”, Makalah , Prodi Ekonomi Islam IAIN Raden Intan Lampung,
27 Januari 2015.
[10]
Amaliah Arsyad,
“Gharar dan Jahalah dalam perspektif Islam beserta Implikasinya dalam Keuangan Syariah”,
Makalah yang disampaikan dalam kelas Fakultas Agama Islam Universitas
Islam Indonesia, Yogyakart, 2016, hlm.4
[11] Al-Shiddiq
Muhammad al-Amin Al- Dhoir, al-Gharar wa atsaruhu fi Al-Uqud fi Al-fikh
Al-Islamy, (Sudan:1990), hlm. 58
[12]Badan
Kementrian Wakaf dan Lembaga Islam, Al-Maushu’ah Al-Fikhiyah, Cet-1,
(Kwait:Dar Al-Shofwah, 1994), jilid. XXXI, hlm. 149.
[13] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya (Bandung:
PT. Sygma Examedia Arkanleema,2009), hlm. 29.
[14] Ibid,
hlm. 83.
[15]Imam
Abi Husain Muslim Bin Hajaj al-Qusyairi an-Nasaburi, Shahih Muslim, Juz
III (Riyadh: Dar al-Alimul Kutub, 206-261 M), h. 1153.
[16] Wahab
Al-Zuhli, Maushu’ah Al-Fikh Al-Islamy wa Al-Qadhaya Al-Mua’shirah, cet. III,
(Damaskus: Dar Al-Fikr, 2012), jilid IV, hlm. 150.
[17]
Adiwarman A.
Karim, Riba Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah Analisis Fikih dan
Ekonomi, (PT. Rajagrafindo: Jakarta, 2015), hlm.82
[18] Ibid,
hlm. 84
[19] Imam Santoso, “Gharar Fiqih
Muamalah (Realita dan Solusi)”, dikutip dari http://syariahonline.com/v2/component/content/article/31-general/3191-gharar-dalam-fiqih-muamalah-realita-dan-solusi.html pada hari Rabu, 27 April 2016.
[20] Ensiklopedi Hukum Islam , hlm .399.
[21]Ahmad Zain
An-Najah, “Puskafi: Jual Beli Gharar”, dikutip dari http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/448/jual-beli-gharar/ pada tanggal 10 Muharram 1435 H/14 November 2013 M.
[22] Husain Azeemi
Abdullah Thaidi, dkk, “Analisis Eksistensi Gharar Terhadap Pelaksanaan
Pembiayaan Pribadi Tawarruq”, Jurnal, (Malaysia: Fakulti Syariaah dan
Undang-undang , Universitas Sains Islam Malaysia).
[23] Adiwarman A.
Karim dan Oni Sahrono, Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah,
(PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2015), hlm. 87.
[24] Adiwarman A.
Karim, Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah Analisis Fikih dan
Ekonomi, hlm. 96
[25] Ibid.
luckyclub.live | Free Slots, Live Casino, Live Table Games
BalasHapusLuckyClub.live. Live casino, live casino, live table games, live poker, luckyclub roulette, and much more!