Rabu, 07 September 2016

Gharar dan Jahalah dan Pengaruhnya Terhadap Akad Bisnis



Gharar dan Jahalah dan Pengaruhnya
 Terhadap Akad Bisnis

Dosen Pengampu: Drs. Asmuni, M.A
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Fiqh Muamalah


Oleh:
Sappeami
NIM: 5913033

PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI EKONOMI ISLAM
MAGISTER STUDI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Jual beli yang penuh berkah adalah jual beli yang di dalamnya memperhatikan aturan Islam. Inilah jual beli yang akan mendatangkan barokah dan kemudahan rizki dari Allah SWT. Sebaliknya jual beli yang terlarang hanya akan mendatangkan bencana demi bencana. Setelah kita mengetahui beberapa barang yang haram diperdagangkan dan beberapa aturan dalam jual beli, selanjutnya kita patut mengenal bentuk transaksi jual beli yang Islam larang. Diantara jual beli yang diharamkan dalam Islam adalah gharar dan Jahalah. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah Saw melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar dan jahalah sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan ketidakpastian serta adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, dan tidak terhitung”.
Ketidak pastian adalah realitas dalam kehidupan manusia, namun semua umat manusia dihadapkan dengan ketidak pastian dalam kehidupan sosial dan bisnis, resiko selalu meliputi kita apapun yang kita lakukan. Islam tidak mengabaikan realitas ini dan tidak melarang manusia menghadapi resiko dan ketidak pastian dalam hidup.[1] Praktik gharar dan jahalah adalah hal yang dilarang, namun bukan larangan untuk menghadapi resiko. Islam tidak mengajarkan seseorang untuk menghindari suatu resiko. Bahkan, berurusan dengan resiko dalam perdagangan diakui akan didukung oleh Islam, karena resiko yang ditanggung bersama secara adil.[2] Dengan kata lain gharar mengacu pada transaksi yang belum jelas, yaitu transaksi yang dikondisikan pada situasi dan kondisi yang belum pasti.
Prinsip gharar yang telah dikeluarkan adalah berdasarkan kepada sebab-sebab sesuatu jual beli itu dilarang yang diambil dari pada pendapat-pendapat ulama setelah dibuat kesimpulan dari pada hadis-hadis gharar. Prinsip-prinsip yang dikeluarkan ini adalah untuk memastikan supaya setiap urusan niaga atau jual beli yang berlaku tidak terlibat dalam gharar yang telah dilarang Islam melalui hadis-hadis Nabi saw. yang shahih.[3]
Gharar dan jahalah merupakan dua istilah yang dilarang dalam Islam, sehingga sangat penting diketahui oleh para pelaku bisnis, maka perlu dilakukan pengkajian yang mendalam tentang hal tersebut, sehingga kita dapat membedakan antara keduanya agar orang muslim dalam berbisnis mampu memahami etika, nilai dan moral sesuai Islam, dan bisnis yang dijalankan benar-benar dilandasi ajaran Islam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian gharar dan jahalah?
2.      Apakah perbedaan antara gharar dan jahalah?
3.      Apakah landasan hukum gharar dan jahalah?
4.      Apasajakah contoh gharar yang dilarang dan gharar yang dibolehkan?
5.      Bagaimanakah pengaruh gharar dan jahalah terhadap akad-akad bisnis?


BAB II
PEMBAHASAN
GHARAR DAN JAHALAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP
AKAD-AKAD BISNIS  
A.    Pengertian Gharar dan Jahalah
1.      Gharar
Gharar menurut bahasa adalah keraguan, ti    puan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan penyerahan objek yang disebutkan dalam akad tersebut.[4]
Pengertian gharar menurut bahasa Arab, makna al-gharar, al-khathr (pertaruhan). Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’ad al-gharar adalah al-Mukhatharah (pertaruhan) dan al-Jahalah (ketidakjelasan), perihal ini masuk dalam perjuduan[5]
Para ahli fikih mengemukakan beberapa definisi gharar yang bervariasi dan dan saling melengkapi.
1.      Menurut iman al-Qarafi dan ibnu Taimiyah, gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli terhadap burung yang masih di udara atau ikan yang masih didalam air.
2.      Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa gharar adalah suatu objek akad yang tidak mampu diserahkan, baik oleh objek itu ada ataupun tidak. Misalnya menjual hamba sahaya yang melarikan diri atau unta yang lepas
3.      Menurut ibnu hazm, gharar adalah ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi objek akad tersebut.[6]
4.      Menurut Mustafa Zarqa, gharar adalah jual beli yang tidak jelas batasannya dan objeknya karena risiko sehingga mirip judi.[7]
2.      Jahalah
Jahalah adalah ketidaktahuan[8].  Jahalah berarti suatu unsur yang tidak jelas atau tidak diketahui pada kualitas, kuantitas,atau harga suatu barang, sehingga mengakibatkan timbulnya suatu ketidakpastian. Jual beli dinyatakan tidak sah apabila jumlah barang hanya dapat dihitung dengan perkiraan menganggap jumlahnya sama dengan yang masih ada dipohon. Berkaitan dengan ini, rahman membagi praktik jahalah kedalam dua ciri umum yaitu: jual beli dengan kira-kira dan ketidakjelasan.
Jahalah merupakan suatu elemen yang dilarang di dalam muamalat Islam, wujud jahalah di dalam sesuatu transaksi menjadikannya haram. Contoh nya seperti Memesan barang tanpa menetapkan sifatnya, menempah barang tanpa ditentukan harganya, membeli barang yang tidak berwujud pada waktu akad.[9]
B.     Perbedaan Gharar dan Jahalah
Sementara itu, Imam al-Qarafy membedakan antara Gharar dengan Jahalah. Gharar menurutnya adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan transaksi jual-beli terhadap burung yang masih ada di udara atau ikan yang masih berada di air. Sedangkan majhul adalah suatu akad yang diketahui dengan tegas efek dari terlaksananya akad, tetapi tidak diketahui sifatnya, seperti seorang yang ingin menjual budak yang masih berada di dalam rumah.[10]
Dapat ditari kesimpulan, jika unsur ketidaktahuan ini kembali pada apakah efek akad tersebut terlaksana atau tidak, maka berarti ini adalah gharar. Namun jika unsur ketidaktahuan ini terjadi akibat ketidaktahuan sifat dari objek jual-beli maka disebut jahalah.[11]
Jahalah menurut al-Qarafi terbagi menjadi tiga, yaitu: pertama, adanya gharar tanpa jahalah, seperti ketika seseorang menjual sesuatu (yang belum jelas objeknya) dalam lengan baju. Kedua, adanya unsur jahalah tanpa gharar, seperti jual-beli batu mulai yang sudah bisa dilihat oleh pembeli, namun pembeli tidak tau, apakah batu mulia itu zamrud, safir, atau rubi. Dalam hal ini tidak ada unsur gharar karena pembeli dapat melihat langsungbarang yang diperjualbelikan, hanya saja pembeli tidak bisa membedakan bentuk batu mulia. Ketiga, kedua unsur gharar dan jahalah terdapat dalam satu akad transaksi jual beli, seperti ketika transaksi jual-beli mobil yang sedang dicuri.[12]
Berikut adalah skema yang menggambarkan pembagian gharar dan jahalah serta contohnya menurut al-Qarafi
Gharar dan Jahalah
Gharar tanpa Jahalah
Contoh : ketika seseorang menjual sesuatu (yang belum jelas objeknya) dalam lengan baju.
Jahalah tanpa Gharar
Jual beli batu mulia yang sudah bisa dilihat oleh pembeli, namun pembeli tidak tau, apakah batu mulia itu zamrud, safir atau rubi
Unsur gharar dan jahalah
Contohnya: transaksi jual-beli mobil yang sedang dicuri.


C.    Landasan Hukum Pelarangan Gharar
Gharar hukumnya dilarang dalam syariat Islam, oleh karena itu melakukan transaksi atau memberikan syarat dalam akad yang ada unsur ghararnya itu tidak boleh. Didalam al-Qur’an tidak ada nash secara khusus yang mengatakan tentang hukum gharar akan tetapi secara khusus dapat dimasukkan dalam surah al-Baqarah ayat 188:


Artinya :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian dari yang lain    diantara kamu dengan yang batil.” (Q.S. Al-Baqarah : 188)[13]


Kemudian dalam surah an-Nisa ayat: 29 
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. (Q.S. An-Nisa : 29)[14]

Mengenai dilarangnya jual beli gharar juga didapati didalam hadis yang berhubungan dengan hal tersebut yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat antara lain sebagai berikut:
وَحَدَثَنَا أَبُو بَكَر بنُ أَبِي شَيْبَةُ حَدَثَنَا عَبْدُ اللهِ بنُ إِدْرِيْسُ وَ يَحْيَ بنُ سَعِيد وَ أَبُو أُسَامَة عَنْ عَبْدُ اللهِ وَحَدَّثَنِي زُهَيْرِ بْنُ حَرْبِ (وَ اللفْظُ لَهُ) حَدَثَنَا يَحْيَ بنُ سَعِيْد عَن عَبدُالله حَدَّثَنِي أَبُو الزِنَاد عَنْ الأَعْرَاج, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةُ قَالَ: نَهَي رَسُولُ الله صَلي اللهُ عليهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ الحَصَاةِ, وَعَن بَيْعِ الغَرَرِ.[15]

Artinya:
Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami. Abdullah bin Idris dan Yahya bin Sa’id dan Abu Usamah dari Abdullah telah menceritakan kepada kami. Zuhair bin Harbin (lafadh yang dimaksud) telah menceritakan kepada saya. Yahya bin Sa’id dari Abdullah telah menceritakan kepada kami. Abu Zinad dari A’roji, dari bapak saya Hurairah telah menceritakan kepada saya. Ia berkata: Rasulullah saw. melarang melakukan jual beli kerikil (dengan cara lemparan batu kecil) dan melarang melakukan jual beli yang sifatnya tidak jelas (gharar).

Dengan demikian maka jelaslah keharaman jual beli gharar dalam Islam.
Menurut iman Nawawi jual beli gharar adalah terlarang, namun terdapat dua pengecualian di dalamnya. Pertama, sesuatu yang tidak disebutkan dalam akad jual beli tetapi termasuk kedalam objek akad. Misalnya jual beli sapi perah, atau jual beli rumah beserta fondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Kedua, segala sesuatu yang menurut kebiasaan umum suatu daerah dapat ditolerir atau di maafkan dalam akad jual bel, baik karena sedikit jumlahnya maupun karena sulit memisahkan dan menentukan, seperti upah masuk kamar mandi, sedangkan penggunaan air dan waktu setiap orang yang masuk kamar mandi berbeda-beda.[16]  


Menurut para ulama, gharar itu berbeda-beda jenis dan tingkatannya, ada gharar berat dan ada gharar ringan.
1.      Gharar berat
Abu al-Walid al Baji menjelaskan batasan (dhabit) gharar berat tersebut, yaitu: “Gharar berat itu adalah yang sering terjadi pada akad hingga menjadi sifat akad tersebut.” Atau singkatnya, gharar berat adalah gharar yang bisa dihindarkan dan menimbulkan perselisihan antara para pelaku akad.[17]
Gharar jenis ini berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan tempat. Oleh karena itu, standar gharar ini dikembalikan kepada ‘urf . Diantara contoh gharar berat adalah menujal buah-buahan yang belum tumbuh, menyewakan suatu manfaat barang tanpa batas waktu, memesan barang (akad salam) untuk barang yang tidak pasti ada pada waktu penyerahan.
2.      Gharar ringan
Yang dimaksud dengan gharar ringan adalah gharar yang tidak bisa dihindarkan dalam setiap akad dan dimaklumi menurut ‘urf tujjar (tradisi bisnis) sehingga pelaku akad tidak dirugikan dengan gharar tersebut. Seperti membeli rumah tanpa melihat fondasinya, menyewakan rumah dalam beberapa bulan yang berbeda-beda jumlah harinya, menjual buah-buahan yang ada dalam tanah, menjual sesuatu yang hanya bisa diketahui jika dipecahkan atau dirobek.[18]
Dalam contoh beberapa transaksi di atas terdapat ketidakjelasan, membeli rumah tetapi fondasi rumah tidak bisa dilihat, jumlah dari dalam bulan bulan juga tidak pasti, dan seterusnya. Gharar ringan ini dibolehkan menurut Islam sebagai rukhsah (keringanan) dan dispensasi khususnya bagi pelaku bisnis. Karena gharar itu tidak bisa dihindarkan dan sebaliknya sulit sekali melakukan bisnis tanpa gharar ringan tersebut.
Dari sisi lain gharar juga ada yang kadarnya sedikit, sedang dan berat. Oleh karena itu sebagian ulama mendefinisikan gharar yaitu sesuatu yang diyakini adanya, tetapi  diragukan  kesempurnaannya (Mukhtar Shihah).[19]
D.    Gharar yang dilarang dan gharar yang diperbolehkan
1.      Gharar yag dilarang
Menurut ulama fikih, bentuk-bentuk gharar yang dilarang adalah sebagai berikut:[20]
1.      Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadi akad, baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada (bai’ al-ma’dum). Misalnya, menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya, menjual ikan yang masih dalam laut atau burung yang masih di udara.
2.      Menjual sesuatu yang belum berada dibawah penguasa penj ual. Bila suatu barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahterimakan kepada pembeli, maka pembeli ini tidak boleh menjualnya kepada pembeli lain.
3.      Tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual.  Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih dari Universitas Damascus, Suriah) berpendapat bahwa ketidakpastian (al-jahl) tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar (gharar kabir) larangannya.
4.      Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Misalnya, penjual berkata: “saya jual kepada anda baju yang ada dirumah saya”, tanpa menentukan ciri-ciri baju tersebut secara tegas. Termasuk dalam bentuk ini ialah menjual buah-buahan yang masih dipohon dan belum layak.
5.      Tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Misalnya penjual berkata: “saya jual beras kepada andasesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini.” Ketidakpastian yang terdapat dalam jual beli ini merupakan illah dari larangan melakukan jual beli terhadap buah-buahan yang belum layak konsumsi.
6.      Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan objek akad, misalnya setalah wafatnta seseorang.
7.      Tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macamatau lebih transaksi yang berbeda dalam satu objek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih sewaktu terjadinya akad. Misalnya, sebuah arloji dijual dengan harga 50 ribu rupiah jika dibayar tunai dan 75 ribu rupuah jika kredit, namun ketika akad berlangsung tidak ditegaskan bentuk transaksi yang dipilih.
8.      Tidak adanya kepastian objek akad, yaitu adanya dua objek akad yang berbeda dalam satu transaksi. Misalnya, salah satu dari dua potomg pakaian yang berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama. Salah satu pakaian tersebut harus dibeli tanpa ditentukan lebih dahulu pakaian mana yang menjadi objek akad.
9.      Kondisi objek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Misalnya, menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit. Jual beli ini termasuk gharar karena di dalamnya terkandung unsur spekulasi bagi penjual dan pembeli, sehingga disamakan dengan jual beli dengan cara undian.
10.  Adanya keterpaksaan, antara lain berbentuk:
a)      Jual beli lempar batu (bai’ al-hasa), yaitu seseorang melemparkan batu pada sejumlah barang dan barang yang dikenai batu tersebut wajib dibelinya.
b)      Jual beli saling melempar (bai’ al-munabazah), yaitu seseorang yang melempar bajunya kepada orang lain dan jika orang yang dilempar itujuga melemparkan baju kepadanya maka antara keduanya wajib terjadijual beli, meskipun pembeli tidak tahu kualitas barang yang akan dibelinya itu
c)      Jual beli dengan cara menyentuh (bai’ al-mulamasah), yaitu jika seseorang menyentuh suatu barang maka barang itu wajib dibelinya, meskipun ia belum mengetahui dengan jelasbarang apa yang akan dibelinya itu.
2.      Gharar yang diperbolehkan
Jual beli gharar yang diperbolehkan ada dua macam:[21]
a.       Jika barang tersebut sebagai pelengkap
b.      Jika ghararnya sedikit
c.       Masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu yang remeh
d.      Mereka memang membutuhkan transaksi tersebut
Imam Nawawi menjelaskan hal tersebut di dalam Syarh Shahih Muslim (5/144):
“Kadang sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli, karena hal itu memang dibutuhkan (masyarakat), seperti seseorang tidak mengetahui tentang kwalitas pondasi rumah (yang dibelinya), begitu juga tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang hamil.  Hal – hal seperti ini dibolehkan di dalam jual beli, karena pondasi (yang tidak tampak) diikutkan (hitungannya) pada kondisi bangunan rumah yang tampak, dan memang harus begitu, karena pondasi tersebut memang tidak bisa dilihat. Begitu juga yang terdapat dalam kandungan kambing dan susunya.“ (lihat juga Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari, Kitab: al-Buyu’, Bab: Bai’ al-Gharar)
Beberapa contoh gharar lain yang diperbolehkan  :
1.  Menyewakan rumahnya selama sebulan. Ini dibolehkan walaupun  satu bulan kadang 28, 29, 30 bahkan 31 hari. 
2.  Membeli hewan yang sedang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina, kalau lahir sempurna atau cacat.
3.  Masuk toilet dengan membayar Rp. 2000,- padahal tidak diketahui jumlah air yang digunakan
4.  Naik kendaran angkutan umum atau busway dengan membayar sejumlah uang yang sama, padahal masing-masing penumpang tujuannya berbeda-beda.
Gharar dalam aktiviti muamalat membawakan ciri-ciri berikut (Mohamed Fairooz, 2011).
1.      Gharar adalah unsur yang tidak diketahui sama ada wujud atau tidak
2.      Gharar merupakan sesuatu yang tidak jelas dari sudut keberhasilan daripada tujuan sesuatu akad jual beli dijalankan
3.      Gharar berlaku atas jahalah yang merujuk kepada kesamaan yang tanpa boleh dipastikan sama ada oleh pihak penjual atau pembeli
4.      Gharar mampu mempengaruhi harga jualan komoditi lalu mengakibatkan berlakunya penindasan keatas pembeli[22]
E.     Pengaruh Gharar terhadap akad-akad bisnis
Dalam standar syariah AAOIFI Barhain no. 31, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, 2010, ditiliskan oleh Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, pengaruh gharar terhadap akad mu’awadhah (transaksi bisnis), bisa terjadi baik dalam sighat maupun akad atau dalam objek akad atau dalam syarat akad. [23]
1.      Gharar dalam shigat akad
Diantara contoh gharar dalam sighat akad adalah:
a)      Al- Jam’u baina bai’ataini fi bai’ah (menggabungkan dua transaksi dalam satu transaksi), sepertimenjual barang dengan harga seribu secara tunai atau dengan harga dua ribu secara tidak tunai, tanpa ditentukan salah satu dari dua pilihan tersebut.
b)      Akad jual beli atas objek yang tidak pasti, seperti bai’ al-hashah yakni menjual sesuatu dengan cara melempar kerikil ke objek yang akan dibeli, setiap objek yang terkena lemparan, maka itu yang akan dibeli.
2.      Gharar dalam objek akad
Pertama, gharar yang terjadi pada objek akad (mutsman). Objek akad yang dimaksud adalah barang yang dijual dalam akad bai’ atau barang (layanan) yang disewakan dalam akad ijarah atau objek usaha dala akad mudharabah.
Gharar dalam akad yang menjadi objek transaksi meliputi hal-hal berikut:
a)      Bentuk dan jenis objek akadnya tidak diketahui dengan jelas (majhul), seperti menjual barang, tetapi tidak dijelaskan jenisnya atau menjual mobil tanpa diketahui modelnya.
b)      Objek akadnya tidak ditentukan (‘adamu ta’yini sil’ah), seperti menjual mobil di show room tanpa ditentukan barangnya atau menjual sebidang tanah tanpa ditentukan tempat dan letaknya.
c)      Sifat objek akad tidak diketahui (majhul) dalam barang yang memiliki sifat yang berbeda-beda, seperti menjual barang yang tidak ada ditempat tanpa dijelaskan sifat-sifatnya.
d)     Jumlah barang yang menjadi objek akadnya (miqdar al-mabi’) itu tidak diketahui (majhul), seperti bai’ al-jazaf. bai’ al-jazaf adalah jual beli barang yang ditaksir jumlahnya tanpa diketahui secara pasti jumlahnya. bai’ al-jazaf itu hukumnya tidak sah kecuali jika memenuhi syarat-syart berikut:
1)      Barang yang dijual terlihat waktu akad disepakati
2)      Barang tersimpan (mahruz)
3)      Yang disepakati untuk dijual adalah jumlah keseluruhan bukan satu per satu.
Transaksi dengan objek akad yang tidak diketahui jenis, sifat dan jumlahnya tersebut itu akadnya tidak sah (fasid) sesuai ijma’ ulama yang menegaskan bahwa setiap transaksi yang tidak diketahui objek akadnya, maka akad itu tidak sah karena dalam transaksi ini ada ketidak jelasan yang bisa menyebabkan perselisihan (jahalah fahisyah). Begitu pula tujuan penjual atau pembeli untuk mendapatkan keuntungan atau barang itu tidak tercapai.
Kedua, gharar yang terjadi pada harga (tsaman) atau upah (ujrah). Diantara bentuk penerapannya adalah:
a)      Menjual barang tanpa disebutkan harganya atau diserahkan kepada salah satu pihak akad atau orang asing untuk menentukannya
b)      Membeli sesuatu dengan uang yang ada disakunya.
c)      Membeli sesuatu dengan mata uang tertentu yang tidakdisebutkan
Menjual barang dengan upah yang tidak diketahui akadnya tidak sah, kecuali menjual barang dengan harga yang tidak ditentukan, tetapi tingkat ghararnya mughtafar (ditolerir) seperti akad-akad berikut:
1)      Menjual barang dengan harga pasar (harga waktu membeli) atau dengan harga pada waktu tersebut
2)      Menjual barang dengan harga yang biasa digunakan masyarakat
3)      Bai’ al-istijrar yaitu membeli barang secara rutin dari para penjual dengan sistem mu’tha (jual beli tanpa ijab qabul) dan harganya ditentukan setelah dikonsumsi dengan mengikuti harga urf’ masyarakat atau dengan harga indeks
4)      Menjual barang dengan harga paket dan tidak mengetahui rincian barangnya dan harga keseluruhannya.
5)      Menyewakan taksi dengan argo dimana upah tidak bisa diketahui kecualai sampai pada tujuan
6)      Menyewakan dengan upah sejenis, contohnya, mengikuti harga upah yang berubah-ubah sesuai dengan harga indeks
Ketiga, waktu akadnya tidak diketahui (majhul). Jika akad disepakati tanpa menentukan waktu penyerahan barangnya maka akadnya tidak sah, karena ketidak pastian waktu penyerahan objek akad itu termasuk gharar.
Tetapi jika waktu tidak ditentukan tersebut sudah maklum dan bisa dipahami pelaku akad, maka akadnya sah karena gharar yang mughtafar (ditolerir), seperti menjual barang dan penyerahannya ditunda hingga musim-musim tertentu, seperti musim panen dan lain-lain.
Keempat, objek akadnya tidak ada dan belum dimiliki atau objek akadnya ada tetapi tidak bisa diserahterimakan atau objek akadnya tidak bisa di taqabudh (serah terima).
Objek akadnya tidak ada dan belum dimiliki, maksudnya menjual sesuatu yang tidak dimilikinya pada waktu akad, tetapi penjual kemudian membelinya dari pasar untuk dijual kepada pembeli tersebut. Jual beli objek akad ini tidak sah kecuali dalam bentuk salam atau istishna’.
Objek akadnya ada tetapi tidak bisa diserahterimakan, seperti menjual ikan dalam kolam air dan tidak bisa diambil pada waktunya.
Objek akad yang tidak bisa di taqabudh, maksudnya tidak boleh menjual sesuatu yang belum diterima dan belum dimiliki atau dalam istilah fikih belum terjadi taqabudh.
Kelima, objek akadnya tidak bisa dilihat (Bai’ al-‘ain al-gha’ibah).
Tidak boleh menjual barang yang tidak ada tanpa ditentukan sifatnya dan ciri-cirinya karena Bai’ al-‘ain al-gha’ibah itu mengandung unsur gharar yakni barang yang tidak bisa dilihat itu membuat akad tidak sempurna.
Maka jika barngnya tidak ada pada saat akad, tetapi bisa ditentukan spesifiknya oleh penjual atau pihak lain, atau barang yang tidak ada tetapi sudah dilihat sebelumnya sebelum akad dengan syarat barangnya tidak berubah atau menjual barang dengan contoh itu maksudnya model sebagai contoh barang objek beli, maka akadnya sah.
F.     Pengaruh Gharar dalam Akad Tautsiqat (Akad Pengikat)
1.    Pengaruh gharar dalam akad rahn dan kafalah
Dalam akad rahn dan kafalah boleh saja terjadi unsur gharar. Contoh akad rahn, memberikan motor yang hilang atau tanaman yang belum berbuah sebagai jaminan. Akan tetapi telah diketahui bahwa kedua contoh diatas tidak boleh dilakukan kecuali setelah mobil tersebut ada dan pohon itu berbuah.
Contoh pada akad kafalah seperti menjamin sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang, kafalah dengan mensyaratkan sesuai yang tidak bertentangan dengan muqtadha akd (tujun akad) atau menundanya hingga waktu yang tidak ditentukan.[24]
Hal ini berdasarkan bahwa akad rahn itu bukan akad inti, tetapi hanya akad pelengkap yang berfungsi sebagai tautsiq (pengikat/bukti) dan selain itu akad kafalah dan rahn itu adalah akad tabarru.
2.    Pengaruh akad dalam akad wakalah
Unsur gharar dibolehkan dalam akad wakalah jika ada indikator (qarinah) atau ‘ufr yang menentukan muwakkalah bih (objek wakalah), seperti ta’liq (menggantungkan) wakalah dengan syarat (akad wakalah yang mu’allaq). Dengan syarat wakalah yang disepakati bukan wakalah bil ajr kareana akad tersebut termasuk akaad ijarah.[25]

A.    Kesimpulan
jika unsur ketidaktahuan ini kembali pada apakah efek akad tersebut terlaksana atau tidak, maka berarti ini adalah gharar. Namun jika unsur ketidaktahuan ini terjadi akibat ketidaktahuan sifat dari objek jual-beli maka disebut jahalah.
Menurut para ulama, gharar itu berbeda-beda jenis dan tingkatannya, ada gharar berat dan ada gharar ringan. pengaruh gharar terhadap akad mu’awadhah (transaksi bisnis), bisa terjadi baik dalam sighat maupun akad atau dalam objek akad atau dalam syarat akad.

 
DAFTAR PUSTAKA
Abi, Imam Husain Muslim Bin Hajaj al-Qusyairi an-Nasaburi, 2.06-261 M, Shahih Muslim, Juz III Riyadh: Dar al-Alimul Kutub
Al-Shiddiq Muhammad al-Amin Al- Dhoir., 1990,  al-Gharar wa atsaruhu fi Al-Uqud fi Al-fikh Al-Islamy, Sudan:1990
Al-Zuhli Wahab., 2012,  Maushu’ah Al-Fikh Al-Islamy wa Al-Qadhaya Al-Mua’shirah, cet. III, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2012 Wahab Al-Zuhli, Maushu’ah Al-Fikh Al-Islamy wa Al-Qadhaya Al-Mua’shirah, cet. III, Damaskus: Dar Al-Fikr.
Arsyad, Amaliah. 2016.  “Gharar dan Jahalah dalam perspektif Islam beserta Implikasinya dalam Keuangan Syariah”, Makalah yang disampaikan dalam kelas Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indonesia. Yogyakart.
Azeemi, Husain Abdullah Thaidi, dkk., “Analisis Eksistensi Gharar Terhadap Pelaksanaan Pembiayaan Pribadi Tawarruq”, Jurnal, (Malaysia: Fakulti Syariaah dan Undang-undang , Universitas Sains Islam Malaysia).
Badan Kementrian Wakaf dan Lembaga Islam. 1994. Al-Maushu’ah Al-Fikhiyah, Cet-1. Kwait:Dar Al-Shofwah.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema,2009.
Ensiklopedi Hukum Islam. 2010. PT. Ichtiar Baru vab Hoeve: Jakarta.
Fuadi, Fatih., “Ekonomi Islam: Jahalah (Dampaknya terhadap akad”, Makalah ,  Prodi Ekonomi Islam IAIN Raden Intan Lampung, 27 Januari 2015.
Hadi, Abdul bin Awang., “Gaharar dalam Perspektif Fiqih al-Hadith: Analisis Terhadap ‘Illah dan Prinsip”, Jurnal Ilmiah Berimpak, (Desember 2012).   
Hanif Ummu., “Inilah Gharar Dan Jahalah dalam Harga Perhidmatan” dikutip dari, http://darulharis.blogspot.co.id/2013/10/inilah-gharar-dan-jahalah-dalam-harga.html, pada hari Rabu, 25 Oktober 2013.
Ifhm, Ahmad Sholohin. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syriah, PT. Gramedia: Jakarta.
Iqbal , Muhaimin., Iqbal , Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik Upaya Menghilangkan Gharar, Maisir, dan Riba, Gema Insani: Jakarta.
Karim Adiwarman dan Oni Sahrono. 2015. Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Nazir, Habib dan Afif Muhammad. 2004.  Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah. Kafa Publishing: Bandung.
Santoso Imam. “Gharar Fiqih Muamalah (Realita dan Solusi)”, dikutip dari http://syariahonline.com/v2/component/content/article/31-general/3191-gharar-dalam-fiqih-muamalah-realita-dan-solusi.html pada hari Rabu, 27 April 2016.
Syahatah, Husain. Shiddiq Muhammad, dll. 2005.  Transaksi dan Etika Biasnis Islam. Visi Insani Publishing:Jakarta.
Warde, Ibrahim. 2009. Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global, Pustaka Belajar: Yogyakarta.
Zain Ahmad An-Najah. “Puskafi: Jual Beli Gharar”, dikutip dari http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/448/jual-beli-gharar/ pada tanggal 10 Muharram 1435 H/14 November 2013 M.

















[1] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik Upaya Menghilangkan Gharar, Maisir, dan Riba, (Gema Insani: Jakarta, 2005), hlm. 25.
[2] Ibrahim Warde, Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global, (Pustaka Belajar: Yogyakarta, 2009) hlm. 127
[3] Abdul Hadi bin Awang, “Gaharar dalam Perspektif Fiqih al-Hadith: Analisis Terhadap ‘Illah dan Prinsip”, Jurnal Ilmiah Berimpak, (Desember 2012).   
[4]Ensiklopedi Hukum Islam (PT. Ichtiar Baru vab Hoeve: Jakarta, 2001), hlm .399
[5] Husain Syahatah, Shiddiq Muhammad, dll, Transaksi dan Etika Biasnis Islam, (Visi Insani Publishing:Jakarta, 2005), hlm.144
[6] Habib Nazir dan Afif Muhammad, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah, (Kafa Publishing: Bandung,2004), hlm. 245.
[7] Ahmad Ifhm Sholohin, Buku Pintar Ekonomi Syriah, (PT. Gramedia: Jakarta, 2010), hlm. 288.
[8] Ibid, hlm.
[9] Fatih Fuadi, “Ekonomi Islam: Jahalah (Dampaknya terhadap akad”, Makalah ,  Prodi Ekonomi Islam IAIN Raden Intan Lampung, 27 Januari 2015.
[10] Amaliah Arsyad, “Gharar dan Jahalah dalam perspektif Islam beserta Implikasinya dalam Keuangan Syariah”, Makalah yang disampaikan dalam kelas Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indonesia, Yogyakart, 2016, hlm.4
[11] Al-Shiddiq Muhammad al-Amin Al- Dhoir, al-Gharar wa atsaruhu fi Al-Uqud fi Al-fikh Al-Islamy, (Sudan:1990), hlm. 58
[12]Badan Kementrian Wakaf dan Lembaga Islam, Al-Maushu’ah Al-Fikhiyah, Cet-1, (Kwait:Dar Al-Shofwah, 1994), jilid. XXXI, hlm. 149.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema,2009), hlm. 29.
[14] Ibid, hlm. 83.
[15]Imam Abi Husain Muslim Bin Hajaj al-Qusyairi an-Nasaburi, Shahih Muslim, Juz III (Riyadh: Dar al-Alimul Kutub, 206-261 M), h. 1153.
[16] Wahab Al-Zuhli, Maushu’ah Al-Fikh Al-Islamy wa Al-Qadhaya Al-Mua’shirah, cet. III, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2012), jilid IV, hlm. 150.
[17] Adiwarman A. Karim, Riba Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah Analisis Fikih dan Ekonomi, (PT. Rajagrafindo: Jakarta, 2015), hlm.82
[18] Ibid, hlm. 84
[19]  Imam Santoso, “Gharar Fiqih Muamalah (Realita dan Solusi)”, dikutip dari http://syariahonline.com/v2/component/content/article/31-general/3191-gharar-dalam-fiqih-muamalah-realita-dan-solusi.html pada hari Rabu, 27 April 2016.
[20]  Ensiklopedi Hukum Islam , hlm .399.
[21]Ahmad Zain An-Najah, “Puskafi: Jual Beli Gharar”, dikutip dari http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/448/jual-beli-gharar/ pada tanggal 10 Muharram 1435 H/14 November 2013 M.

[22] Husain Azeemi Abdullah Thaidi, dkk, “Analisis Eksistensi Gharar Terhadap Pelaksanaan Pembiayaan Pribadi Tawarruq”, Jurnal, (Malaysia: Fakulti Syariaah dan Undang-undang , Universitas Sains Islam Malaysia).
[23] Adiwarman A. Karim dan Oni Sahrono, Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah, (PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2015), hlm. 87.
[24] Adiwarman A. Karim, Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah Analisis Fikih dan Ekonomi, hlm. 96
[25]  Ibid.

1 komentar:

  1. luckyclub.live | Free Slots, Live Casino, Live Table Games
    LuckyClub.live. Live casino, live casino, live table games, live poker, luckyclub roulette, and much more!

    BalasHapus